Siapkan hati...
Mungkin sekali lagi, engkau dikorbankan...
Harus bersabar dengan otak limbic yg kena trauma.
Walaupun salah paham bisa saja terjadi, aku tak dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh mereka yang tidak punya basis pengetahuan yang sama.
Sebisa mungkin aku tidak mau berdrama ria.
Bila dirasa mengganggu aku akan dengan sopan minta mereka memikirkan alternatif lain.
Aku terus menerus berpikir letak kesalahanku di mana. Terus menerus mempertanyakan kenapa aku diperlakukan begini buruk. Terus menerus merasa lebih baik aku yang salah dari pada mereka yang salah. Menyiksa batinku sendiri seperti ini.
Betapa tidak mudahnya bagiku untuk melemparkan kesalahan kepada orang lain.
Tolong aku, Tuhan...
Berikan aku hati yang berdamai dengan diri sendiri. Aku ingin melindungi diriku sendiri. Aku tak mau lagi perlakuan yang sama kualami lagi.
Aku tau sekarang kenapa aku terganggu soal mic. Ini masalah scarcity. Karena ada yg sangat mendambakan benda itu sedemikian rupa, benda tersebut menjadi rebutan dan benda itu menjadi langka. Orang tertarik dg sesuatu yg langka. Kehilangan yg langka itu bisa jd menyakitkan karena otak purba limbic menyatakan kepanikan tentang kebertahanan hidup. Menyatakan bahwa kemungkinan engkau terhilang eksistensinya.
Karena seharusnya yang terbaik la yang memenangkan pertarungan, kalau orang yang mendapatkan mic tersebut padahal tidak pantas, ada rasa yang menyakitkan juga karena diperlakukan tidak adil.
Ketidakadilan membangkitkan rasa marah.
Lalu karena itu, aku kembali menempatkan orang orang sebagai sainganku yang curang. Aku mengingat ingat semua kecurangan mereka yang kuusahakan kuampuni dan kutangani dengan cerdik.
Akhirnya aku mengerti seluruh proses yang terjadi.
Pergumulan ku adalah:
Aku yang memang tak diperlukan sehingga bisa dikorbankan
Vs
Yang memberikan ku peran tak berguna ini punya karakter yang melindungi kepentingan nya sendiri alias tak adil.
Mana yang kupilih?
Lebih mudah bagiku merendahkan diri seperti itu tapi tindakanku untuk memperbaiki diri akan menjadikan diriku target orang lain untuk dimanfaatkan.
Pilihan kedua berarti aku lebih baik mundur saja atau setiap kali ada ketidakadilan aku harus berani menunjukan sikapku. Seperti yang sudah2, menjadi annoying.
Ah, pusing...
Istirahat selama mungkin aja ah...
Mental korban beneran ga pas buat saya.
Ok. Saya yang salah... Saya seharusnya tidak membuka peluang orang lain memanipulasi saya.
Seharusnya saya menyatakan ketidak nyamanan saya segera.
Sekarang saya butuh istirahat dan mengabaikan hal lain nya.
Liburan dan ziarah akan saya jalani dengan hati ringan.
Ga bisa nyanyi untuk sementara ini aja.
Nanti nya bisa seperti apa, saya coba jalani saja.
Mereka tidak akan mengerti kalau aku cerita.
Aku lebih baik tutup mulut tak berusaha menjelaskan sampai akhirnya hal tersebut menjadi masalah baru setelah aku berjalan pergi.
Saat itulah, mereka akan mengerti bhw yg kurasakan bukanlah karena keegoisan. Tapi karena itu adalah luka yg wajar timbul karena manipulasi.
Aku tau bukan aku yang salah. Kalau orang lain marah kepadaku berarti dia yang bodoh.
Aku juga tau seharusnya aku bisa tidur nyenyak dengan adanya pemikiran ini.
Bakat?
Yang bener adalah aku terus menerus belajar. Aku menghabiskan banyak waktu untuk belajar. Bukan tugasku bagi ilmu terus menerus. Tapi bila aku melakukannya berarti aku baik hati. Jangan berpikir yg kebalikannya.
Aku tau tuh orang berjuang keras dalam diam nya hingga dia kutolong. Tapi setelah aku tau dia telah mendapatkan upahnya, aku pun menarik diri. Wajar, kok.
Aku sibuk dgn kemarahan yg tak bisa diluapkan ini. Susah tidur jadinya.
Ah, mengadu pada siapa pun tak akan ada gunanya. Orang itu terlalu dibutuhkan sehingga kebutuhanku akan keadilan pun akan diabaikan.
Aku pasti menemukan cara agar aku terlepas dari tindakan curang orang lain.
Aku pasti menemukan keadilan tanpa banyak turun tangan.
Yah, aku harus ingat. Orang jahat jangan terlalu dibaikin. Perasaan bersalah nya malah membuat dia tambah jahat.
Menemukan orang yang bisa kita andalkan dalam suka duka itu luar biasa sulit.
Tidak ada orang yang tulus... Rasanya letih sekali... Lagi2 menemukan orang yg spt ini.
Apakah krn aku terlalu menunjukan aku tak perlu dirinya? Lalu dibalas spt ini?
Sudahlah...
Setiap orang memang menomor satukan dirinya.
Aku hanya berpikir bhw ada cukup bagiku alasan untuk tidak merasa bersalah bila aku egois nanti.